KH. Abdur Razaq Fahruddin, seorang cendekiawan agama, pendidik, dan ikon Muhammadiyah yang amat dikenal hingga akhir abad ke-20. Beliau berdedikasi sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah selama 22 tahun lamanya (1968-1990). Banyak yang merujuk beliau dengan sebutan KH. AR. Fahruddin, atau dengan sebutan akrabnya, Pak AR (merupakan kependekan dari nama Abdur Razaq).
Pada tanggal 14 Februari 1916, AR Fahruddin dilahirkan di Pakualaman, Yogyakarta sebagai anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Ayahnya, KH. Fahruddin, merupakan seorang ulama dan tokoh Muhammadiyah yang saat itu menjabat sebagai Lurah Naib (Penghulu) Pakualam, sedangkan ibunya adalah putri dari KH. Idris, penghulu Pakualam sebelumnya. Kehidupan keluarga AR Fahruddin didominasi oleh tradisi keluarga Muhammadiyah yang sangat religius, sebagaimana diwariskan oleh ayahnya yang juga seorang tokoh Muhammadiyah.
Ketika berusia tujuh tahun, AR Fahruddin mulai bersekolah di Sekolah Standar Muhammadiyah di Brantasrau hingga kelas dua, sementara orangtuanya tinggal di Purwangan yang masih berada di wilayah Yogyakarta. Namun, kemudian ia pindah ke Pranggan, Kota Gede (Kabupaten Bantul) untuk mengikuti kakak perempuannya dan melanjutkan pendidikannya di SD Muhammadiyah setempat.
Sementara itu, ayahnya sudah tidak menjabat lagi sebagai penghulu Pakualaman, sehingga keluarganya harus kembali ke kampung halamannya di Bleberan, Banaran, Kecamatan Baku (Kabupaten Kulon Progo). Hal ini menunjukkan bahwa keluarganya mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi karena usaha perdagangan batik ayahnya tidak berhasil.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SD Muhammadiyah Pranggan, Kota Gede pada tahun 1928, AR Fahruddin melanjutkan sekolah di Madrasah Mualimin Yogyakarta. Namun, ia hanya bisa menyelesaikan hingga kelas dua karena ayahnya, KH. Fahruddin, meninggal dunia pada tanggal 27 Februari 1929. AR Fahruddin terpaksa kembali ke desa Bleberan, Banaran untuk sementara waktu dan belajar di pesantren setempat.
Pada tahun 1932, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Darul Ulum Muhammadiyah di Sewugulur, Kulon Progo selama tiga tahun (1932-1935) dan kemudian melanjutkan ke Tabligh School Muhammadiyah atau semacam Kulliyatul Mubalighin Muhammadiyah selama satu tahun (1935-1936). Setelah itu, AR Fahruddin lebih banyak belajar sendiri (otodidak) dengan pengalaman hidupnya yang pahit dan manis sehingga ia berhasil menjadi seorang tokoh besar.
Saat berusia 20 tahun, AR Fahruddin diutus oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengajar di SD Muhammadiyah Talang Balai, Tanjung Raja (sekarang Kabupaten Ogan Komering Ilir) dan mendirikan Madrasah Mualimin Wustho Muhammadiyah di sana. Setelah dua tahun berada di Talang Balai, pada tahun 1938 beliau dipindahkan ke Cabang Muhammadiyah Kulak Pajeh, Sekayu Musi Ilir (sekarang Kabupaten Musi Banyuasin) dan mengajar di sana selama tiga tahun.
Pada tahun 1941, beliau dipindahkan ke kantor Cabang Muhammadiyah Sungai Batang, Sungai Gerong (wilayah Palembang) dan mengajar di daerah penghasil minyak tersebut. Setelah Jepang masuk ke Indonesia, beliau kemudian mengajar di Cabang Muhammadiyah Muara Meranjat, Tanjung Raja, yang tidak jauh dari tempat pertama beliau mengajar di Sumatera Selatan.
Setelah mengabdikan diri selama tujuh tahun di sekitar Palembang (1936-1943), AR Fahruddin kembali ke Bleberan, Banaran (Kulon Progo) dan mulai mengajar di Sekolah Darul Ulum Muhammadiyah setempat serta terlibat dalam kepengurusan Cabang Muhammadiyah Sewugalur (1944). Setelah Proklamasi Kemerdekaan, beliau bergabung sebagai anggota Hizbullah Batalyon 39 yang dipimpin oleh H. Dawam Rozi.
Mulai tahun 1947, AR Fahruddin diberi amanah untuk menjadi pegawai Kementerian Agama dengan posisi awal sebagai Penghulu (Kepala Kantor Urusan Agama) di Adikarto (Wates). Kemudian beliau dipindahkan ke Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan ikut terlibat dalam perang gerilya selama masa Perang Kemerdekaan.
Pada tahun 1950, beliau dipercaya menjadi Pegawai Jawatan Agama di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kepatihan. Setelah menjabat selama sembilan tahun di Jawatan Pendidikan Agama, beliau diangkat sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama Propinsi Jawa Tengah di Semarang pada periode 1959-1964.
Selama bertugas di Semarang selama lima tahun, AR Fahruddin juga berperan sebagai dosen di beberapa Perguruan Tinggi seperti Universitas Diponegoro, Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA) dan STO (Sekolah Tinggi Olah Raga). Kemudian beliau kembali ke Yogyakarta untuk menjabat sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama Propinsi DIY hingga masa pensiunnya pada tahun 1972.
Saat bertugas di Kementerian Agama, KH. AR. Fahruddin tak pernah absen dari kegiatan Muhammadiyah. Bahkan, beliau justru semakin aktif sebagai pengurus di organisasi tersebut. Beliau dipercaya menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Madya Yogyakarta pada tahun 1950-1951, lalu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY pada tahun 1952-1953. Beliau juga menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tahun 1956, beliau diangkat sebagai salah satu wakil ketua di PP Muhammadiyah. Jabatan ini dipertahankan selama beberapa periode hingga tahun 1968.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968, KH. Faqih Usman berhasil terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, sedangkan KH. AR. Fahruddin menjabat sebagai salah satu wakil ketua. Sayangnya, beberapa bulan setelah terpilih, KH. Faqih Usman meninggal dunia sehingga jabatan Ketua sementara kosong.
KH. AR. Fahruddin kemudian diangkat menjadi pejabat Ketua dan setahun kemudian secara resmi ditetapkan sebagai Ketua PP Muhammadiyah melalui sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1969. Ia berhasil memegang jabatan tersebut selama beberapa periode berikutnya, termasuk dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang (1971), Muktamar ke-39 di Padang (1974), Muktamar ke-40 di Surabaya (1978), dan Muktamar ke-41 di Solo (1985).
Namun, dalam Muktamar ke-42 di Yogyakarta (1990), KH. AR. Fahruddin memilih untuk tidak maju lagi sebagai Ketua PP Muhammadiyah, karena selain usianya yang sudah cukup tua dan sudah memegang jabatan tersebut selama 22 tahun, ia juga ingin memberikan kesempatan kepada kader-kader Muhammadiyah yang lain. Jabatan sebagai Ketua kemudian diisi oleh KH. Ahmad Azhar Basyir, MA yang menggantikan sosok ulama yang selalu sederhana dan tulus dalam pengabdiannya.
KH. AR. Fahruddin, setelah pensiun dari jabatannya sebagai Kepala Penerangan Agama Propinsi DIY pada tahun 1972, tidak pernah tertarik untuk terlibat dalam dunia politik atau pemerintahan, meskipun sudah beberapa kali ditawari sebagai anggota DPR, ia selalu menolak.
Baru pada tahun 1988, beliau menerima tawaran menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang dijabatinya hingga akhir hayatnya. Meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, namun perjuangan KH. AR. Fahruddin dalam organisasi tidak pernah berkurang. Ia tetap menjadi panutan bagi para kader yang sudah terampil sebagai pemimpin, dan terus melaksanakan dakwah seperti yang selalu ia lakukan.
Selama sepuluh tahun, antara tahun 1975-1985, beliau sering mengisi Kuliah Subuh di RRI dan TVRI Stasiun Yogyakarta, dan juga menulis rubrik keagamaan di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta dengan rubrik “Pak AR Menjawab”. Rubrik-rubrik tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul yang sama.
KH. AR. Fahruddin memiliki beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan Muhammadiyah, seperti “Semangat Islam dan Muhammadiyah”, “Wawasan Gerakan Pemikiran dan Amal dalam Muhammadiyah”, “Kualitas Kepemimpinan dan Gerakan dalam Muhammadiyah”, dan “Pemimpin Muhammadiyah”. Beliau yang sering dipanggil Pak AR, telah berjuang selama bertahun-tahun di Muhammadiyah untuk kepentingan umat. Pada akhirnya, beliau meninggal dunia pada usia 74 tahun setelah sakit beberapa waktu, dan dimakamkan di Yogyakarta.
Sumber : Ensiklopedia Ulama Nusantara, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara