Muhammad Zainuddin lahir pada tahun 1898 di Kampung Beni, Desa Pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur. Beliau adalah putra kelima dari Tuan Guru Haji Abdul Majid dan Hajjah Halimatus Sa’diyah. Karena latar belakang keluarganya sebagai seorang ulama, Muhammad Zainuddin telah menerima pendidikan agama sejak masa kanak-kanak dari keluarga terdekatnya.
Selain mempelajari agama dari ayahandanya, Muhammad Zainuddin juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (Kelas Empat) yang ditujukan untuk warga pribumi. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan agamanya dengan mengaji bersama ulama-ulama lainnya seperti Tuan Guru Haji Syarifuddin Pancor dan Tuan Guru Haji Abdullah Kelayu hingga mencapai usia dewasa.
Tidak hanya itu, Muhammad Zainuddin juga belajar dari para ulama yang mengajar di Masjid al-Haram, antara lain Syeikh “‘Abbâs al-Malikì, Syeikh Hasan Massâd al-Malikî, Syeikh Jamâr Mirdad, Syeikh ‘Abd al-Hamîm, Syeikh ‘Utsman Arba’in, Syeikh ‘Abdal-Latif al-Qâri, Syeikh ‘Abdul Azis (asal Langkat), Syeikh Dawad ar-Rumani, Syeikh Muhammad As’ad al-Malikì, dan terutama dari Syeikh Muhammad Amîn al-Kutbi yang banyak memberikan pengaruh dalam keilmuan Tuan Guru Zainuddin.
Setelah kembali dari perjalanannya ke tanah suci Mekah, Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid, yang kini telah menjadi seorang ulama, melanjutkan perjuangan para ulama sebelumnya di Pulau Lombok. Beliau pertama kali mengajar dengan sistem halagah yang biasa digunakan di dunia pesantren.
Muhammad Zainuddin mendirikan pesantren yang diberi nama al-Mujahidin pada tahun 1935 di Desa Pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur, tempat kelahirannya. Dari upaya awal yang sukses ini, setahun kemudian beliau mulai mendirikan pendidikan klasikal, yaitu Madrasah Nahdlatul Wathan Dinah Islamiyah, yang secara resmi berdiri pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/1936 M.
Pada awalnya, madrasah ini hanya setingkat Ibtidaiyah dengan kurikulum yang ditetapkan sendiri oleh Tuan Guru Haji Zainuddin. Namun, kemudian madrasah ini berkembang pesat dengan santri yang datang dari berbagai daerah di kawasan Lombok-Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), bahkan dari Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Dengan cepatnya perkembangan yang dicapai, madrasah yang awalnya ditujukan hanya untuk pelajar putra, diperluas jangkauannya dengan didirikannya madrasah khusus putri dengan nama NBDI (Madrasah Nahdlatul Banat Dinah Islamiah) tujuh tahun kemudian pada tahun 1943. Nama Nahdlatul Wathan yang dipilih oleh Tuan Guru Zainuddin, yang bermakna kebangkitan tanah air, menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama besar yang juga seorang nasionalis Islam yang kuat.
Seluruh pesantren dan madrasah yang berada di bawah naungan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid menggunakan nama yang sama, yaitu Nahdlatul Wathan. Madrasah yang berada di bawah Nahdlatul Wathan memiliki beberapa tingkatan, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga tingkat atas seperti madrasah tahfidz, madrasah ibtidaiyah, sekolah dasar Islam, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, serta Pendidikan Guru Agama (PGA). Tingkat mualimin, mualimat, dan PGA kemudian digabung menjadi madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah sesuai dengan pembaharuan pendidikan di lingkungan Departemen Agama.
Tuan Guru Zainuddin not only acted as an influential educator and charismatic Islamic scholar, but also as the founder and leader of the Nahdlatul Wathan Islamic organization. It is worth noting that the educational institutions within the Nahdlatul Wathan are partially affiliated with both the Ministry of Religious Affairs and the Ministry of Education and Culture, while the pesantren still adopts the halaqah system commonly used in Java and other regions of the archipelago.
Pengaruh dan kekuasaan Tuan Guru sangat besar terhadap umat Islam dan masyarakat pada umumnya, terutama di wilayah Nusa Tenggara. Pengaruh ulama ini tidak hanya meresap di kalangan rakyat atau pejabat yang lebih rendah, tetapi juga mencapai pejabat penting di wilayah tersebut. Tuan Guru Zainuddin memiliki pengaruh yang lebih besar daripada mereka, karena ia merupakan tokoh intelektual-spiritual yang sangat berperan dalam bidang keislaman.
Ia dianggap sebagai sosok kunci dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan agama dan masyarakat. Para pejabat juga tidak berani mengambil keputusan yang berhubungan dengan agama dan masyarakat tanpa restu dari Tuan Guru. Selain aktif dalam kegiatan Nahdlatul Wathan, Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid juga pernah terlibat dalam perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan adiknya yang bernama Tuan Guru Faishal meninggal dalam pertempuran melawan NICA.
Tuan Guru Zainuddin memiliki catatan karier yang mengesankan, termasuk pernah menjabat sebagai anggota Konstituante (1955-1959), anggota MPR RI (1971-1977), pengurus Majelis Ulama Indonesia Propinsi NTB (1975-1985), dan Dewan Pertimbangan Kesehatan dan Syara Propinsi NTB (1986). Selain itu, beliau juga seorang pengarang produktif yang terkenal dengan karya-karyanya berupa syair (syi’ir, nadham) dan qasidah, buku, serta bacaan wirid tertentu yang dijazahkan secara khusus.
Karya-karyanya menggunakan bahasa Arab maupun Bahasa Sasak (Bahasa Daerah Lombok). Beberapa di antaranya adalah Mirajus Shibyân Samai Bayân (ilmu bayan/balaghah); Al-Fawakihul Ampenanssiyah (Tanya jawab faraid/hukum waris); Nahdlatuz Zainiyah (ilmu faraid dalam bentuk nadzam/puisi); Sullâmul Hijâsyarah (fikih, Saduran dari Safinatunnajah); Anak Nunggal (ilmu tajwid); Batu Ngompol (ilmu tajwid dalam bentuk nadzam/puisi); An-Nafâtat Ala Taqrrusaniyah (ilmu musthalah hadis); dan Wasiat Renungan I dan II. Semua karya ini menunjukkan kepiawaian Tuan Guru Zainuddin sebagai seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, serta memiliki kemampuan dalam menuliskan ilmu pengetahuan ke dalam karya yang bermanfaat untuk masyarakat.
Karya-karyanya dalam bentuk nyanyian atau qasidah sebagian besar berisi semangat keagamaan dan nasionalisme, meskipun pada awalnya cenderung bersifat lokal. Beberapa judul karyanya antara lain Anti ya Pancor Biladi, Anak Nahdatul Warhan, Inak Amaq, Nahalatul Wathan Seria, Ya Aysuhal Aba’, Hub Ilà Nairil Irrâmi, dan beberapa lainnya. Nyanyian atau qasidah tersebut diajarkan di lembaga pendidikan di bawah Nahdlatul Wathan dan dijadikan alat untuk membangkitkan semangat perjuangan serta solidaritas antara anggota Nahdlatul Wathan.
Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid juga menyusun doa dan wirid tertentu yang disebut Hizab Nahdlatul Wathan yang diijazahkan kepada pengikutnya dengan cara-cara pengamalan tertentu, terutama untuk lingkungan Nahdlatul Wathan. Selain itu, ada juga Shalawat Nahdlatul Wathan yang diamalkan oleh warga Nahdlatul Wathan tanpa perlu memiliki ijazah terlebih dahulu dari tuan guru. Shalawat Nahdlatul Wathan ini serupa dengan Shalawat Badar dari KH. Ali Mansur Siddiq dari Nahdlatul Ulama serta wirid istighätsah, Hizb an-Nashar, Hizbal-Bahri, dan lain-lain.
Zainuddin Abdul Majid sudah sangat tua, namun semakin bertambah usianya, semakin besar pengaruhnya. Ulama yang sangat dihormati dan karismatik ini meninggal dunia pada usia 100 tahun (menurut kalender Masehi) atau 103 tahun (menurut kalender hijriyah), tepatnya pada tanggal 21 Oktober 1997 (pertengahan Jumadil Akhir 1418 H). Jenazahnya dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan di Pancor, Selong Kabupaten Lombok Timur. Makamnya sangat sering dikunjungi oleh umat Muslim dari berbagai wilayah di Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Sumber : Ensiklopedi Ulama Nusantara