AGH Dr. Abdul Wahab Zakariya (1947-2012) lahir pada tanggal 19 Desember 1947 di Masalembu, Madura, dan merupakan anak ketiga dari 12 bersaudara dari pasangan Zakariya Ibrahim dan Halija, yang keduanya merupakan perantau asal Soppeng, Sulsel. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di SR di Madura pada tahun 1963, beliau merantau ke Sulsel untuk menuntut ilmu di DDI Mangkoso dan belajar kitab kuning di bawah bimbingan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH. Amberi Said.
Setelah menyelesaikan studinya di DDI dan PGAN selama 6 tahun, beliau mengajar sambil kuliah di DDI Pare-Pare hingga memperoleh gelar sarjana muda. AGH. Abdul Wahab Zakariya berusaha untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan berhasil meraih gelar MA. Beliau adalah mahasiswa Asia Tenggara pertama yang memperoleh gelar magister politik Islam dan harus mukim di Mesir selama 8 tahun. Kemampuan beliau dalam bidang politik Islam tidak hanya sebatas dalam bidang akademik, tetapi juga sebagai praktisi, seperti terpilihnya beliau sebagai anggota DPRD Kabupaten Barru pada tahun 1999.
Gurutta Wahab Zakariya kemudian dianugerahi gelar doktor honoris causa dari salah satu universitas terkemuka di Malaysia. Kecintaannya pada almamaternya dan gurunya membuat beliau memutuskan untuk kembali mengabdi di DDI-Ad Mangkoso hingga akhir hayatnya. Beliau pernah mendapat kepercayaan dari AGH. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Kepala Madrasah Aliyah Putra DDI Mangkoso sekaligus menjabat sebagai Pimpinan Kampus II Putra Tonrongnge, yang menandakan penghargaan atas prestasi dan dedikasinya dalam dunia pendidikan Islam.
Dalam dunia keagamaan, AGH Dr. Abdul Wahab Zakariya (1947-2012) dikenal sebagai ulama yang sangat berpengaruh dan patut diteladani. Nasehat-nasehatnya dipenuhi dengan hikmah yang sangat berarti. Pada tahun 2009, saya berkesempatan bertemu dengan beliau di acara pesantren di Pesantren Al-Ikhlas Ujung, Bone binaan Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. Beliau mewakili DDI Mangkoso dan saya mewakili Pesantren An-Nahdlah Makassar.
Dalam sebuah pengajian pada waktu subuh, beliau menekankan pentingnya etika akademik, terutama kejujuran dalam penulisan ilmiah, untuk mencegah plagiat. Beliau sangat menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai kejujuran ini sejak dini, bahkan di pesantren.
Dalam buku “Sat Nama Seribu Kisah: Memoar AGH. Abdul Wahab Zakariya, MA”, para santri yang belajar di bawah bimbingan beliau memberikan testimoninya, dan sebagian besar dari mereka berhasil meraih kesuksesan di kancah nasional. Salah satu santri beliau, Thamzil Thahir (Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Timur), menulis tentang pengalamannya di Pesantren I’dadiyah dan Tsanawiyah dalam buku “Cerita Kambie, Refleksi atas DDI Kenangan Sahabatnya Bernama AS. Kambie” yang merupakan santri spiritual AGH. Wahab Zakariya. Thamzil juga menulis tentang perjalanan hidupnya dalam buku “Dari Santri Kampung ke Kampung Santri” yang diterbitkan dalam buku “Satu Nama Seribu Kisah” (2013).
Dalam buku tersebut, Prof. Dr. Nasaruddin Umar menegaskan bahwa AGH. Wahab Zakariya adalah perpaduan yang unik antara kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, dan kebersahajaan hidup. AGII. Faried Wadjedy juga mengakui bahwa gurutta Wahab sangat berperan dalam sistem pembinaan dan kemajuan pesantren DDI dengan keikhlasan, serta tanggung jawab dan kesederhanaannya. Ketua MUI Makassar, Dr. H. Mustamin Arsyad, MA, yang juga merupakan murid AGH. Wahab Zakariya, menyatakan bahwa sang guru sangat rendah hati dan merasa kehilangan atas wafatnya. AGH Wahab Zakariyah mewariskan ilmunya pada ribuan santri dan alumni dengan memilih mengabdikan diri di Pesantren DDI dan ikon Tonrongnge, Mangkoso, Barru.
Sumber: Buku Anregurutta: Literasi Ulama Sulselbar. Makassar