Teungku Muhammad Daud Beureueh dikenal sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Aceh dan seluruh nusantara. Beliau memiliki sejarah yang kontroversial dan menggemparkan, namun akhirnya berhasil diselesaikan dengan jalan damai. Beliau sangat dihormati di kalangan masyarakat Aceh, baik oleh rakyat maupun pejabat, dan bahkan dipanggil dengan sebutan “Abu” (bapak) karena kharismanya yang besar.
Muhammad Daud lahir di Beureueh pada tahun 1898 dan kemudian dikenal dengan sebutan Teungku Muhammad Daud Beureueh, yang berarti Kiai Muhammad Daud dari desa Beureueh yang terletak di wilayah Kabupaten Pidie.
Sebagai remaja, Daud Beureueh menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu agama di berbagai pesantren, sehingga sebelum mencapai usia akil baligh, ia sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan teman-temannya. Pada usia 21 tahun, tahun 1919, Daud Beureueh menikahi janda Teuku Halimah dan memiliki beberapa putera. Kemudian, ia menikahi janda lain bernama Asma’ dan memiliki beberapa putra lagi. Sementara istri ketiganya, Asiah, hanya memiliki seorang putra. Di antara menantunya yang terkenal adalah Brigjen H. Muhammadiyah, Prof. H. Nur Asyiq, MA dan Muhammad Nur al-Ibrahimy, seorang pemimpin masyarakat Aceh.
Prestasi Daud Beureueh mulai terlihat ketika ia memulai penyelenggaraan sebuah pesantren di Kampung Usi pada tahun 1925. Pesantren tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat dan berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi calon ulama dan nasionalis yang berjuang memperoleh kemerdekaan negaranya. Banyak santri yang berdatangan dari berbagai daerah di luar Usi, membuat pengaruh Daud Beureueh mulai menyebar di wilayah Aceh yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan terkenal fanatik. Pada tahun 1930, saat Daud Beureueh berusia 32 tahun, ia mendirikan lembaga pendidikan baru di Peukan-Pidie, sekitar kilomter dari kota Sigli saat ini.
Pertama, beliau membangun sebuah madrasah diniyah yang dilengkapi dengan dayah dan kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang lebih besar bernama Madrasah Sa’adah Abadiah yang berpusat di Blang Paseh-Sigli. Madrasah ini memiliki banyak murid dan beberapa di antaranya menjadi tokoh-tokoh terkenal baik di masyarakat maupun dalam birokrasi.
Beberapa murid terkenal adalah Prof. K.H. Ali Hasymi, seorang sastrawan, ulama, dan mantan Gubernur Aceh; Prof. Nur Asyiq, MA, guru besar; Brigjen H. Muhammadiyah; Muhammad Nur al-Ibrahimy, seorang ulama dan penulis terkenal; Prof. Teungku H. Ismail Ya’qub MA. SH, seorang ilmuwan, ulama, dan mantan Rektor IAIN Sunan Ampel dan Walisongo; Hasan Saleh, Hasan Ali, dan banyak lagi, termasuk Hasan Tiro yang pernah memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka namun saat ini berada di luar negeri dan tidak berani pulang ke Indonesia.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1358 atau 5 Mei 1939, Teungku Daud Beureueh bersama ulama Aceh lainnya membentuk PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Nama yang dipilih dalam rapat pembentukan disetujui oleh seluruh peserta dan diterima dengan baik oleh Teungku Cik Peusangan, ulama terkemuka sebagai pemimpin ulama Aceh pada masa itu.
Pada tahun 1939, para ulama Aceh secara bersama-sama memilih Teungku Daud Beureueh sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Ia dibantu oleh beberapa pengurus, termasuk Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap sebagai ketua kedua, M. Nur Al Ibrahimy sebagai sekretaris pertama, Teungku Ismail Ya’qub sebagai sekretaris kedua, dan Teungku Muhammad Amin sebagai bendahara. Selain itu, ulama senior seperti Teungku Abdullah Lam U, Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Di Yan dan Teungku Cik Muhammad Johan Alamsyah berperan sebagai penasihat dan pelindung.
Pemilihan Daud Beureueh sebagai Ketua PUSA menunjukkan bahwa seorang ulama muda berusia 41 tahun ini memiliki pengaruh yang kuat di kalangan ulama-ulama Aceh. Daud Beureueh sukses membesarkan PUSA menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan di Aceh, sebuah daerah khusus di Indonesia yang sangat Islam. Ia juga berhasil membentuk Pemuda PUSA yang dipimpin oleh Ali Hasymi, seorang sastrawan terkenal yang kemudian menjadi Gubernur Aceh dan Ketua Majelis Ulama Propinsi Aceh serta guru besar di beberapa perguruan tinggi di Aceh.
PUSA juga berhasil membangun sekolah Normal Islam, dengan syarat bahwa M. Nur Al Ibrahimy, menantu Daud, tidak terlibat dalam politik kaum Uleubalang karena dianggap berbahaya oleh Belanda. Sekolah ini memproduksi banyak tokoh muda penting di Aceh, khususnya dalam bidang pendidikan. Pada 1940-an, PUSA akhirnya mendapat dukungan dari para Uleubalang karena mereka takut terpinggirkan dengan semakin besarnya pengaruh PUSA.
Teungku Daud Beureueh diakui sebagai ulama besar, bahkan ulama terbesar di Aceh setelah Teungku Cik Di Tiro. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta, Daud Beureueh memanggil rakyat Aceh untuk mendukung proklamasi tersebut. Ketika tentara sekutu diboncengi NICA datang, Teungku Daud Beureueh bersama ulama-ulama terkenal lain di Aceh menandatangani seruan untuk berjihad melawan Belanda. Seruan dari ulama-ulama di Aceh ini ditandatangani oleh Teungku Daud Beureueh, Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Hasan Kreung Kale, Teungku Ja’fat Siddik Lam Jabat, dan disetujui oleh Residen Aceh Teungku Nya’ Arif dan Ketua Komite Daerah Aceh Teuku Mahmud.
Dengan begitu, kenyataan ini menandakan bahwa Teungku Daud Beureueh memiliki pengaruh yang signifikan dan berhasil memotivasi masyarakat untuk berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan dan negara mereka, serta siap untuk berperang melawan kafir Belanda, seperti yang terjadi pada akhir abad ke-19.
Mobilisasi rakyat Aceh oleh Teungku Daud Beureueh untuk membentuk pasukan Sabilillah dan Mujahidin mengarahkan tekad dan energi mereka untuk melawan ancaman tentara sekutu dan NICA. Target mereka bukan hanya lawan militer, namun juga kaum Uleubalang yang diduga mendukung Belanda. Keberanian dan amarah rakyat tidak dapat dikendalikan, yang mengarah pada revolusi sosial, seperti yang terjadi pada keluarga Uleubalang di Cumbok pada tahun 1946.
Dengan begitu, pada masa revolusi, tokoh ulama yang sangat dipuji dan dihormati ini dianugerahi kepercayaan oleh pemerintah untuk menjadi gubernur militer dari wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan jabatan Letnan Jenderal (Tituler), meskipun Daud Beureueh sendiri buta huruf latin. Ini menunjukkan bahwa Daud benar-benar diakui sebagai tokoh penting oleh baik oleh kaum pengikut maupun oleh pemerintah pusat.
Dengan gaya bahasa indonesia yang profesional dan unik: Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag berlangsung pada Agustus-November 1949, Belanda mengembalikan kedaulatan Indonesia yang diterapkan sejak 27 Desember 1949 melalui lahirnya RIS. RIS terdiri dari 16 negara bagian, sehingga wilayah Aceh kehilangan hak otonominya dan diklasifikasikan sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Timur. Setelah RIS digantikan oleh NKRI pada 17 Agustus 1950, Aceh tetap menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara.
Gaya Hidup Profesional dan Unik: Setelah perubahan status menjadi karesidenan, Aceh kehilangan otonominya dan Teungku Daud Beureueh dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Ini menyebabkan pemberontakan yang lebih dikenal sebagai Darul Islam Aceh yang dipimpin oleh Daud. Ada pandangan bahwa pemberontakan ini terkait dengan proklamasi Darul Islam oleh S.M. Kartosuwiryo, karena kedua pemberontakan ini memiliki motif keislaman.
Dengan hilangnya keleluasaan Aceh, Teungku Daud dan beberapa tokoh lain menganggap bahwa pemerintah pusat bertujuan untuk menghapus ciri khas dan identitas Aceh yang bersifat Islami. Oleh karena itu, Daud bersama sekitar 4.000 pemimpin Islam (sebelumnya laskar Sabilillah dan Mujahidin) memimpin perlawanan gerilya terhadap pemerintah Indonesia, dengan membentuk pasukan bernama Teritorium Ck Di Tiro. Sebenarnya, pada tahun 1951, pemerintah pusat melakukan upaya pendekatan dengan Daud dan pihak Aceh, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Natsir, tetapi hasil yang ditunggu-tunggu belum muncul hingga saat ini.
Teungku Daud Beureueh berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh penting di Aceh, termasuk beberapa perwira TNI, untuk berpartisipasi dalam gerilya yang dilancarkannya. Gerilya itu berlangsung selama lebih dari sembilan tahun dan memperlihatkan betapa besar pengaruh Daud di kalangan masyarakat Aceh. Para tokoh seperti Hasan Saleh, Hasan Ali, Syamaun Gaharu, dan banyak lagi yang lain, ikut serta dalam gerilya tersebut.
Sayang sekali, pemberontakan yang dipimpin oleh ulama dan pejuang seperti Daud Beureueh harus terjadi. Harus dicatat bahwa sebagai seorang ulama dan pejuang, Daud memiliki prinsip yang kokoh dan tidak mudah digoyahkan oleh siapapun. Dalam hal ini, ada dua masalah utama: otonomi Aceh sebagai propinsi independen dan pengakuan terhadap Islam. Dengan memiliki otonomi sendiri, pemerintah daerah dapat mempraktikkan syariah Islam dengan baik dan masyarakat pun dapat mengamalkannya. Jika kedua masalah ini dipahami dan diterima oleh pemerintah pusat, mungkin pemberontakan Daud tidak akan terjadi. Kepastian untuk memegang teguh pada prinsip inilah yang membuat masyarakat kecil di Aceh mempercayai dan mengikuti anjuran dan ajakan Daud.
Keberanian dan tekad ulama dan pejuang, Teungku Daud Beureueh, dalam memimpin pemberontakan di Aceh sangat menyayat hati. Ia seorang ulama dan pejuang yang memiliki prinsip yang tidak mudah dibentuk oleh siapapun. Dalam hal ini, hanya ada dua masalah utama: pemberian otonomi bagi Aceh sebagai propinsi mandiri dan penghormatan terhadap Islam. Jika Aceh memiliki otonomi sebagai propinsi mandiri, pemerintah daerah dapat melaksanakan syari’at Islam dengan baik dan demikian juga masyarakat. Jika kedua masalah utama ini dipahami dan diterima oleh pemerintah pusat, mungkin pemberontakan Daud Beureueh tidak akan terjadi. Keterikan memegang prinsip inilah yang membuat masyarakat Aceh memahami dan menerima ajakan dan anjuran Daud Beureueh.
Pendekatan dilakukan oleh berbagai pihak untuk membujuk Teungku Daud Beureueh agar mengakhiri perjuangannya. Pertama, salah satu perwira Aceh, Kolonel Syamaun Gaharu, berkoordinasi dengan KSAD Mayjen Abdul Haris Nasution sebagai pimpinan militer untuk Aceh, meskipun beliau sudah lama tidak aktif dalam dinas militer. Dengan pengangkatan Kolonel Syamaun Gaharu tahun 1957, diharapkan dapat terjadi pendekatan dengan pihak pemberontak Darul Islam. Hasilnya, ternyata ada kemajuan baik dalam menyelesaikan perang maupun bagi Syamaun Gaharu sendiri, karena ia kemudian dikenal sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda Aceh yang pertama (30 Maret 1957 – 8 November 1960), dengan pangkat Brigadir Jenderal saat pensiunnya.
Pemerintah pusat membuat Aceh menjadi Propinsi Istimewa dengan Gubernur pertama, Ali Hasymi, pada tahun 1957. Beliau adalah seorang penulis, ulama, pernah menjadi pemimpin pemuda PUSA, dan juga murid dan anak buah Daud Beureueh saat mendirikan PUSA tahun 1939. Meski demikian, Ali Hasymi pernah dikenai hukuman selama 16 bulan karena diduga terlibat dalam pemberontakan Daud Beureueh dan baru dibebaskan pada tahun 1954. Dengan pengangkatan Ali Hasymi dan Syamaun Gaharu yang berasal dari Aceh dan merupakan murid Daud Beureueh, diharapkan pemberontakan Darul Islam Aceh dapat segera teratasi dan memang begitu kenyataannya.
Ada juga upaya yang dilakukan dari dalam, salah satunya melalui kelompok Hasan Saleh, Gani Usman, dan Gani Mutiara yang terlihat bersedia untuk berdialog dengan pemerintah pusat. Mereka membentuk “Dewan Revolusi” yang merupakan pembelot dari komando Teungku Daud Beureueh, namun oleh Teungku sendiri mereka dicap sebagai pengecut atau pengkhianat perjuangan. Memang sulit menghadapi orang yang sangat kuat dalam pendiriannya meskipun akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Upaya mencapai solusi yang permanen tampak jelas setelah delegasi pemerintah pusat yang dipimpin oleh Hardi SH sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Juanda tiba untuk berdialog dengan pihak gerilyawan pada tanggal 23 Mei 1959. Keberhasilan cukup signifikan tercapai melalui negosiasi yang memakan waktu hampir dua bulan dan memiliki jaminan amnesti massal dari pemerintah pusat. Terbukti dengan pemberontak seperti Hasan Saleh yang tidak dikeluarkan dari dinas meskipun sebelumnya ia memimpin pemberontakan, bahkan pangkatnya bertambah menjadi Kolonel. Setelah pensiun, Hasan Saleh diberikan tugas mengelola perkebunan teh di Lam Teh, Aceh, seluas sekitar 700 hektar.
Meski demikian, Teungku Daud Beureueh tetap bersikeras untuk terus bergelora dan tidak mau turun dari pegunungan, karena dia menganggap upaya itu sebagai upaya memujuk. Usaha tetap dilakukan oleh Pangdam I/Iskandar Muda Brigjen Muhammad Yasin (penggantinya Syamaun Gaharu yang juga berasal dari Aceh), hingga akhirnya Teungku Daud Beureueh meleleh dan bersedia untuk menyerahkan diri. Pada tanggal 9 Mei 1962, Teungku Daud akhirnya turun dari pegunungan dan diterima oleh Kasdam I/Iskandar Muda Kolonel Nya’ Adam Kamil di Lhokseumawe, lalu bersama-sama menuju ke Banda Aceh. Baru pada tanggal 13 Mei 1962, yaitu 10 dzulhijjah 1381 H, Daud Beureueh tiba di Banda Aceh dan melakukan shalat Idhul Adha di Masjid Raya Baiturrahman.
Sambutan yang sangat besar diterima oleh Teungku Daud Beureueh dari berbagai kalangan masyarakat. Perang pun berakhir dan kedamaian tercapai. Konflik yang dimulai dengan perintah dari masjid, pun berakhir dengan perintah dari masjid yang sama. Pada 21 Mei 1962, dengan dukungan dari Pangdam I/Iskandar Muda Brigjend Muhammad Yasin, tasyakuran bersama dilakukan untuk merayakan tercapainya perdamaian dan stabilnya keamanan di seluruh wilayah Aceh.
Pemberontakan di Aceh adalah satu-satunya peristiwa pemberontakan di Indonesia yang berakhir dengan damai dan diterapkannya amnesti massal. Wilayah Aceh tetap merupakan daerah otonom tingkat I/Propinsi dengan ciri khas Islam. Sejak saat itu, gubernur Aceh selalu beragama Islam dan hampir seluruh gubernur berasal dari putra daerah. Namun, hanya Haji Eddy Sabara yang menjabat sebagai gubernur yang bukan merupakan putra daerah Aceh.
Meskipun peristiwa pemberontakan di Aceh telah terselesaikan dengan damai, seorang bekas murid Teungku Daud Beureueh, Haji Hasan Tiro, masih memiliki animo yang tinggi terhadap pemerintah Indonesia dan terus berusaha untuk merusak perjuangan diplomatik pemerintah melalui PBB. Ia mempersembahkan dirinya sebagai wakil resmi dan kepala Front Pembebasan Nasional dan Negara. Pada tahun 1977, ia kembali ke Aceh dan membentuk negara “Aceh Merdeka” serta mengangkat dirinya sebagai kepala negara.
Namun, upaya ini sia-sia karena tidak menerima dukungan dari para tokoh Aceh, terutama Teungku Daud Beureueh sendiri. Ia kembali meninggalkan negara dan hingga kini belum kembali. Walaupun begitu, pemerintah tetap waspada terhadap peran Teungku dalam gerakan ini, atau setidaknya memberikan dukungan secara pasif kepada Hasan Tiro. Demi menghindari situasi yang kurang menguntungkan, Teungku Daud yang berusia 79 tahun dipindahkan ke Jakarta oleh putra-putranya.
Teungku Muhammad Daud Beureueh meninggal pada tanggal 10 Juni 1987 di Beureneuen pada usia 89 tahun dan dikuburkan di belakang masjid kota. Usianya yang panjang dipenuhi oleh sejarah hidup yang berliku dan perjuangan. Selain perjuangan terhadap Ibu Pertiwi, beliau merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar. Propinsi Aceh dikenal sebagai daerah istimewa oleh Pemerintah Republik Indonesia dan berbagai ciri khas masyarakat fanatik terhadap Islam tercapai berkat perjuangan tokoh tersebut.
Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.
Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.