Biografi Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah al-Jawi

  • Bagikan
Kiai Abdurrahman Khalil
Biografi Abu Abdullah Mas'ud bin Abdullah al-Jawi

Sebuah ulama besar hidup dalam era keemasan Kerajaan Majapahit yang berlangsung sekitar 8 abad yang lalu. Saat itu, Kerajaan Pasai yang berada di pantai utara Aceh mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga membuat seorang tamu dari Maghribi bernama Ibnu Bathuthah yang sedang dalam perjalanan menuju Cina tertarik untuk singgah. Beliau menyebut Kerajaan Pasai, yang dikenal sebagai “Kerajaan Jawa”, sebagai sebuah negara Islam yang aman dan makmur.

Di masa itu, hiduplah seorang ulama besar dan sufi terkenal, tidak hanya di wilayah Nusantara, tetapi juga di kawasan Timur Tengah dan dunia Islam lain. Beliau bernama Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah al-Jawi, yang jelas menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Orang Melayu. Sayangnya, sumber sejarah tentang eksistensi tokoh ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Melayu atau sumber sejarah lain, seperti berita dari Cina, prasasti, dan lain-lain.

Namun, sumber tentang adanya ulama besar ahli tasawuf tersebut ditemukan dalam kitab “Jâmi’ Karâmatil Aulia” yang dikarang oleh seorang ulama besar Palestina bernama Syeikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhanî pada tahun 1350 H. Dalam kitab tersebut, Syeikh Yusuf menjelaskan tentang ulama besar bernama Syeikh Abu ‘Abdullah Mas’ud al-Jawi yang hidup di Aden (Hadramaut), Arab Selatan. Kata “al-Jawi” menunjukkan bahwa dia adalah orang Jawa (Melayu) seperti yang disebutkan oleh orang Arab terhadap orang Melayu yang tinggal di Mekah. Mungkin ini berasal dari nama yang diberikan oleh Ibnu Bathuthah untuk Nusantara, “Negeri Jawa”. Tempat asal Mas’ud al-Jawi, apakah dari Jawa, Sumatera, atau Malaya tidak diketahui. Tidak ada informasi tentang kelahiran beliau, keluarganya, atau masa kecilnya. Meskipun demikian, dapat dipastikan bahwa Mas’ud al-Jawi adalah seorang ulama Melayu yang berasal dari wilayah Nusantara.

Tidak ditemukan catatan yang menyebutkan asal usul belajar Syeikh Mas’ud al-Jawi dalam ilmu-ilmu Islam dan siapa guru yang mengajarinya. Namun, sangat mungkin beliau belajar dari ulama-ulama Islam Arab yang tinggal di nusantara seperti Syeikh Abdullah Arif, Syeikh Burhanuddin Kuntu, Syeikh Ismail Zaffi, Syeikh Shafiuddin, atau ulama-ulama generasi berikutnya. Namun, hal ini tidak dapat dibuktikan karena ulama-ulama tersebut bermukim di Sumatera dan Malaya, sementara asal Syeikh Mas’ud al-Jawi tidak diketahui dari pulau manakah di nusantara. Meski demikian, bisa dipahami bahwa pada masa itu ada wilayah Kerajaan Pasai (Samodera-Pasai) yang sudah menganut Islam, sehingga mungkin Syeikh Mas’ud berasal dari kawasan tersebut.

Syeikh Abu Abdullah Mas’ud belajar dari ulama-ulama Hadramaut (Arab Selatan), meski tidak ada informasi pasti tentang bulan dan tahun belajar dan lama belajar. Beliau belajar dari ulama-ulama terkenal di daerah tersebut, seperti al-Faqîh al-Kabîr Isma’il al-Hadramî dan Syeikh al-Faqih al-Uâyah yang merupakan ulama fikih terkenal dan bahkan sangat dikenal sebagai ahli fikih. Namun, sumber tidak jelas menyebutkan siapa yang mengajar Syeikh Mas’ud al-Jawi setelah itu hingga menjadi ahli tasawuf besar.

Syeikh Abu Abdullah Mas’ud al-Jawi adalah ulama besar di Jazirah Arab Selatan, yaitu daerah yang jauh dari tanah airnya. Di sana, beliau memiliki banyak murid dan sangat dihormati sebagai orang shaleh, sehingga murid-muridnya menyebut beliau sebagai waliyullah. Menurut catatan Syeikh Yusûf an-Nabhanî, Syeikh Abu Abdullah al-Jawi memiliki seorang murid tasawuf yang sangat terkenal dalam dunia Islam, bernama Syeikh ‘Abdullah al-Yafi’î. Beliau hidup di Mekah pada abad ke-8 Hijriyah atau 14 Masehi dan menjadi allamah dan sufi besar yang berhasil menulis beberapa kitab yang masih menjadi rujukan para ahli tasawuf hingga sekarang. Syeikh al-Yafi’î wafat pada tahun 768 Hijriyah (1367 Masehi), dua tahun sebelum wafatnya Ibnu Bathuthah.

Menurut Syeikh Yusuf ibn Isma’il an-Nabhanî, Syeikh Abdullah al-Yafi’î sangat menghormati guru-nya, Syeikh Abu Abdullah Mas’ud al-Jawi. Dalam catatannya, beliau memuji Syeikh al-Jawi sebagai waliyullah yang memiliki karomah (keramat) sangat tinggi. Syeikh al-Yafi’î mengungkapkan bahwa gurunya adalah seorang wali yang terkenal, memiliki arah yang benar, keramat yang membahana, kelebihan-kelebihan yang tinggi, dan posisi yang jelas.

Kata al-Yafi’i lagi, “Dan Beliaulah yang mula-mula memakaikan khirqah kepada saya dengan isyarat yang jatuh di atasnya. Ketika suatu ketika saya beserta beliau berada di kuburan orang-orang shaleh, maka saya menjadi paham kalau orang shaleh yang berada di dalam kubur itu sedang bercakap-cakap dengan beliau”.

Ucapan Syeikh al-Yafi’i mungkin juga didramatisir demi memuji-muji gurunya yang memiliki tingkat keagungan dan kewalian yang tinggi. Dalam dunia tasawuf khususnya dalam tarekat, seorang murid memiliki ketaatan dan bahkan ketaatan mutlak kepada guru Mursyid. Apa yang diterangkan oleh guru Mursyid kepadanya, merupakan hal yang menjadi norma bagi murid untuk patuh dan mengikuti, tanpa merasa berani untuk membantah atau melakukan tindakan yang merusak.

Penjelasan Syeikh Yusûf an-Nabhanî tentang Syeikh ‘Abdullah al-Yafi’î menunjukkan betapa ketaatan dan kehormatannya pada gurunya dalam tasawuf, Syeikh Abu Abdullah Mas’ud al-Jawi. Tak mungkin Syeikh al-Yafi’î, seorang ulama Arab, bersedia patuh dan sangat menghormati gurunya yang orang ajam, Syeikh al-Jawi, jika guru tersebut tidak memiliki ilmu tasawuf yang sangat tinggi, seorang ‘Abid dan Zabîd yang sangat tekun, dan guru yang ‘allamah dan Wara’ (wira’i).

Syeikh Abu Abdullah Mas’ud dikenal sebagai ulama dan guru tasawuf besar yang pernah bermukim di Aden dan memiliki banyak murid, termasuk Syeikh Abdullah al-Yafi’î. Mereka hidup pada masa kejayaan Samodera-Pasai di pantai utara Aceh pada abad ke-14 Masehi. Tak tercatat secara pasti berapa lama Syeikh Mas’ud tinggal di Aden, apakah hanya beberapa saat atau hingga akhir hayat, serta apakah ia pernah kembali ke tanah air setelah tinggal di Aden.

Siapapun di mana pun beliau dikuburkan, pasti Syeikh Mas’ud al-Jawi merupakan ulama asli Nusantara yang pernah tinggal di Arab Saudi. Mungkin dia ulama al-Jawi pertama yang menetap di sana dan menjadi pelopor bagi ulama al-Jawi lainnya. Beberapa abad kemudian, ulama-ulama nusantara lain pun berdatangan seperti Syeikh Abdurrauf as-Singkili, Syeikh Yusuf Tajul Khalwati, Syeikh Arsyad al-Banjari, Syeikh Nafis al-Banjari, Syeikh Abdus Shomad al-Falimbani, Syeikh Daud al-Fathani, Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Abdul Karim, Syeikh Muhammad Khalil Bangkalan, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Hasyim Asy’ari, Syeikh Muhtar at-Tharid, Syeikh Abdul Kadir Mandili dan masih banyak lagi.

Walau tak banyak tercatat datanya, Syeikh Abu Abdullah Mas’ud al-Jawi yang hidup di pertengahan abad ke-14 mempunyai pengaruh besar pada masanya. Ia ulama Indonesia pertama yang menjadi ulama besar dan pengaruhnya meluas, terutama dalam tasawuf, dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia Islam.

Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.

Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *